Air Suci


Mataku dan matanya saling menatap. Tubuhnya melekat di tubuhku. Satu selimut membungkus kami berdua. Awan hitam di luar sana seperti tidak mengijinkan aku lepas dari pelukannya. Lilin beraroma di meja sudah habis meleleh setelah menemani kami bercinta. Anggur sisa tadi malam tersisa setenggak. Suara-suara para pesuruh gereja lantang terdengar di luar. Mereka menyerukan perang atas nama Tuhan. Tuhan yang mana? Yang menyuruh merusak dan membunuh?

“Kau harus berangkat sayang.”

Aku tak bergeming. Aku kecup bibirnya yang seperti madu itu. Peluknya seperi pelukan bumi, aku hidup di dalamnya. Dia melepaskan rangkulku.

“Cepatlah pergi! Penuhi panggilan gereja!” Katanya lagi.

“Ketakutan terbesarku adalah lepas darimu.” Jawabku sambil memburu di kulit putihnya.

Kenapa harus perang? Aku baru saja menemukan gadis kecilku yang hilang. Kutemukan di antara rakusnya para penguasa, di antara nafas-nafas bau arak di bar kumuh. Sampai dia ragu apakah air suci dari gereja bisa membersihkan dirinya? Lalu kuyakinkan, jika air suci tak bisa membersihkan dosa, pun dosa tak pernah aku anggap kotor. Dosa adalah klaim sepihak mereka yang merasa paling mengenal Tuhan. Lalu mereka juga membunuh Tuhan dengan doktrin-doktrin tak logis.

Kini aku harus perang? Juga katanya atas dasar perintah Tuhan. Ke sana ke tanah yang dijanjikan. Dijanjikan oleh siapa? Bible? Agama jadi alasan berperang? Manusia memang makhluk paling mematikan.

Aku tak pernah yakin agama benar-benar menyuruh kita berperang. Ini semua hanya alasan bagi nafsu politik mereka. Oh kenapa aku harus jadi bagian dari militer kerajaan? Lantas kenapa aku menemukan cinta pada gadis kecilku ini. Kenapa madu harus dicampur dengan darah? Apakah darah Yesus tidak cukup menebus semua dosa manusia? Kutukan kah ini?

“Sayang tak cukupkah janji surga itu memanggilmu?” Katanya lagi sambil menghentikan kecupanku.

“Di tubuhmu, di rambutmu, di hatimu sudah ada surga? Surga mana lagi yang mesti aku cari? Di Jerussalem? Surga macam apa di sana? Aku cuma butuh surga dari hadirmu.”

***

Di luar sana para pesuruh gereja menebar bual lewat air sucinya. Tanah yang dijanjikan dijadikan slogan. Mereka yang tak berangkat perang dianggap murtad, kafir, dan diasingkan, mungkin juga dibunuh. Seseorang masuk ke kamarku. Gadisku sembunyi di balik punggungku.

“Albert, sang prajurit Tuhan, segeralah bergabung dengan pasukan yang lain! Kita akan segera menuju tanah yang dijanjikan itu. Di sana di Jerussalem.” Kata seorang prajurit kerajaan. Sungguh aku tak paham sebenarnya apakah kerajaan yang dikendalikan gereja atau gereja yang dikendalikan kerajaan. Sekarang yang aku tahu aku dipaksa untuk meninggalkan gadisku, maduku, madu yang kutemukan di antara sampah-sampah dogma gereja. Maduku adalah bagian yang tersingkir yang dicap berdosa.

“Tinggalkan saja pelacur itu.” Aku pun menghantam mulut liar yang bilang maduku adalah pelacur. “Sekali lagi kau bilang dia pelacur aku habisi nyawamu!”

“Baiklah entah siapa gadis itu yang jelas kau harus pergi memenuhi panggilan gereja. “

“Tidak. Aku tidak pergi meninggalkannya.”

***

Kita akan tetap bersama kekasih, tidak ada panggilan apapun yang akan memisahkan aku darimu. Bahkan air suci itu pun tak akan membuatku melupakanmu.

Pagi itu semua prajurit berkumpul. Perang Salib akan dimulai. Kami akang berangkat ke Jerussalem. Masih kupandangi gadis yang aku temukan di antara banyak kebusukan kaum agamawan dan kaum aristokrat. Dulu, kubawa dia keluar dari kehidupan malam. Kita hidup bersama, mempertaruhkan hidup pada alam. Menanam anggur, jagung, dan murbey. Lantas tiba-tiba kebersamaan ini akan direnggut begitu saja?

Masih kuingat saat musim panen kemarin, kami dengan suka cita memetik hasil kebun kami. Bahkan ternak-ternak pun tidak dinyana melahirkan anak-anaknya. Kami habiskan hari-hari di kebun memunguti damai yang kian mahal harganya. Di ujung hari kami bercinta di antara tumpukan jerami. Kini?

“Kenapa kau menyuruhku pergi berperang?”

“Itu panggilan Tuhan.”

“Aku sudah lama mengenal Tuhan, kau yang tak pernah tahu Tuhan kenapa kau begitu yakin bahwa Tuhan itu baik? Tuhan itu jahat! Tuhan itu sangat menyedihkan, dia minta disembah lantas menyuruh-nyuruh semaunya sendiri.”

“Bagiku Tuhan itu seperti kamu, menyelamatkan, mengasihi, menyangi.”

“Lantas kenapa sekarang menyuruh perang, membunuh?”

Dia diam saja. Di memelukku. Namun dia ingin agar aku berperang. Memenuhi panggilan gereja, katanya.


“Percayalah, kita akan bertemu kembali. Kita memang harus berpisah dulu.”

“Perang itu mematikan, sayangku. Cintalah yang menumbuhkan, tidak ada yang lain yang bisa seperti cinta.”

“Sudahlah, jangan bahas soal cinta. Minumlah.” Dia memaksaku untuk meminum air suci itu.

***

Pagi-pagi pasukan berangkat. Genggaman tangan kami lepas, terlepas oleh doktrin dan kepentingan busuk agamawan dan politikus.


Komentar

Postingan Populer